Mahasiswa Boriadcast and Journalism PCU Tampilkan 3 Film Documenter

avatar swaranews.com

Swaranews.com - Mahasiswa Broadcast and Journalism, Communication Science, PCU (Petra Christian University) kembali menggelar screening tiga film karyanya di CGV Marvel City Jalan Ngagel No. 123 pada 13 Januari 2023.

“Ketiga film yang ditampilkan mengambil tema utama mengenai 'sebuah perubahan'. Berubah ini sendiri dalam kehidupan manusia menjadi sebuah tantangan yang mau tidak mau harus dialami. Karya para mahasiswa tersebut mencoba menghadirkan tayangan yang menggugah rasa 'berubah' penonton dari berbagai sudut pandang,” kata dosen pengajar Mata Kuliah Film Dokumenter, Daniel Budiana, Jum'at (13/1/2023).

Baca Juga: Satpol PP Surabaya Berhasil Amankan Puluhan Botol Minuman Beralkohol selama Ramadan

Karya para mahasiswa itu merupakan project ujian akhir semester dari mata kuliah Produksi Film Dokumenter. Ketiga film itupun dikerjakan secara berkelompok dengan enam mahasiswa di dalamnya.

"Calon-calon sineas muda ini memang belum sempurna. Tetapi lewat diskusi dan segala masukan diharapkan akan semakin menyempurnakannya. Hadirnya film dokumenter ini akan memperkaya dan mengingatkan masyarakat untuk terus mendukung dan 'aware' terhadap perubahan yang terjadi di sekitar kita,” ungkap Daniel.

Perlu diketahui, ketiga film dokumenter tersebut berjudul Lensa Ludruk, Ahad Ijem dan Exist. Sebelum diproduksi, film-film itu melalui proses wawancara dan riset terlebih dahulu. Sebab harus menampilkan fakta yang terjadi dalam kehidupan dunia nyata," ia menerangkan.

Terkait sinopsis cerita, film Lensa Ludruk yang diproduksi oleh Maria Patricia, Elizabeth Melinda, Cindy Silviana, Levina Natania, Rhaditya Rahutama dan Thessalonica Dwi ini menceritakan kehidupan sebuah komunitas yang mempertahankan kesenian Ludruk khas Jawa Timur di tengah gempuran zaman.

“Sesuai dengan judul filmnya, fungsi Lensa untuk memfokuskan kesenian Ludruk. Seperti yang kita ketahui, minat Ludruk ini sangat sedikit. Padahal Ludruk merupakan kesenian khas Jawa Timur, dengan adanya film ini maka kesenian Ludruk tidak punah di mata anak-anak muda zaman sekarang,” kata Maria yang bertugas sebagai Produser.

Lebih lanjut, film berdurasi 16 menit tersebut juga bekerjasama dengan komunitas Luntas, sebuah komunitas Ludruk yang mempunyai keinginan memoderinasi kesenian Ludruk agar dapat dinikmati oleh anak millenial.

Proyek yang beranggotakan enam mahasiswa ini juga menemukan kendala yaitu membagi waktu kuliah dengan proses membuat film seperti riset, wawancara hingga pembuatan film.

Baca Juga: Siap Sambut Pengunjung, KBS Hadirkan Berbagai Atraksi dan Hiburan Selama Libur Lebaran

“Tapi kami jadi belajar banyak hal diantaranya membuat storyline,” ungkap anggota produksi film Lensa Ludruk, Elizabeth.

Sementara itu, untuk film Ahad Ijem yang berdurasi 18 menit, mengisahkan mengenai pentingnya masalah pelestarian alam bagi kehidupan manusia. “Ahad Ijem" sendiri dalam Bahasa Inggris dituliskan "The Green Sunday, atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan artinya Minggu yang Hijau.

“Kami melihat air dan alam menjadi sumber utama kehidupan dan salah satu bagian Sustainable Development Goals. Kolaborasi dengan komunitas Resan, kami mencoba menelisik lebih Gunungkidul di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kerap diberitakan terdampak kekeringan,” kata Sentanu sebagai Produser.

Tim yang beranggotakan enam mahasiswa ini, yaitu Sentanu Chandra, Rachel Oktavia, Steven Petradi, Priscilla Christy, Ferry Shandy dan Helena Genoveva tersebut menghabiskan waktu hingga 10 hari di Yogya. Mereka tidak menduga bahwa ternyata perjalanan ke pelosok Gunungkidul sangat sulit dan akses jalannya berbatu-batu.

Adapun ide awal pembuatan film ini muncul saat melihat sebuah pemberitaan di suatu media, yang sederhana tapi menarik. Komunitas ini pun menggunakan cara yang unik dalam usahanya melestarikan alam.

Baca Juga: Kemenpan RB Jadikan Surabaya Percontohan dan Tempat Belajar WBK dan WBBM

“Mereka mengadakan gerakan penanaman serta upacara adat setelah bibit pohon ditanam. Kami lebih menekankan ada usaha dalam menghargai alam,” Sentanu mengungkapkan.

Sedangkan untuk Film Exist, atau dalam Bahasa Indonesia yang berarti "ada" dipilih karena merupakan inti dari film dokumenter ini. Berdurasi kurang lebih 15 menit, film apik ini diproduksi oleh Grace Maria Etter, Fedorike Yaphilia, Jennifer Annebeal, Celine Christiara Median Putri, Richard dan Russell Vernoon.

“Mengambil lokasi di Desa Gintangan, Banyuwangi, kerajinan yang masih dihasilkan oleh warga adalah menganyam. Kebetulan ini merupakan salah satu budaya tertua di Indonesia. Tetapi perkembangan zaman yang sudah maju, apakah budaya ini dapat bertahan beberapa tahun kedepan?” kata Grace.

"Ide filmnya dapat saat mencari di internet. Yang susah mencari topik dan narasumber yang menarik. Kami pengen jangan melupakan budaya yang ada meski ada perubahan. Jadi anak muda itu harus mau memajukan Indonesia dengan melestarikan budaya-budaya yang ada,” pungkas anggota produksi Film Exist, Celine. (res)

Editor : redaksi