KAMPUS MENGEJAR PERINGKAT

avatar swaranews.com

Swaranews.com - BEBERAPA hari. Beberapa teman. Kirim tulisan lewat WA (whatapp) ke saya. Ada yang japri (istilah sekarang kiriman pribadi). Inti tulisan "mengapa kampus kalah peringkat dengan kampus lain". _Saya juga ikut memikir. Mengapa ya?. Saya mencoba jawab "kalau sumber daya bagus (berkualitas), mestinya kampus jadi berkualias". Tentu tidak cukup itu. "Kualitas" itu macam macam.

Kampus. Tentu membutuhkan kualitas akdemik, utama. Ditambah kualitas human relation dan kualitas lainnya" _Apakah "kekuasaan perlu kualitas akademik?". Agak sulit juga jawaban pertanyaannya. Tetap berusaha dijawab, "biasanya kekuasaan itu 'politik praktis". Bukan akademik. 

Kekuasaanmemang melalui proses "politik" ditambah "politik praktis". Melulu itu hanya dapat "kekuasaan". Sebab merebut kekuasaan tidak terlalu membutuhkan orang berkualitas akademis semata. _Yang penting orang lain bisa dikuasai. Terus, yang berkualitas kemana?. Yaaa..yang masuk jaringannya, akan katut. Sangat pasti tidak semua katut. 

Kalaukita tilik ke belakang. Ilmuwan jarang katut/masuk kekuasaan. Ilmuwan Galileo Galilei malah dihukum mati oleh penguasa. Padahal menemukan keilmuan "bumi itu bulat seperti bola, bukan bulat hamparan". Bukan seperti tempeh. Prasasti masih ada: Menara Pizza.

Urusannya mengapa kok Galileo Galilai dibunuh/dihukum mati? Sebab, dianggap mengkhawatirkan memudarkan pengaruh penguasa. Saat itu rakyat sudah percaya bumi bulat melebar hamparan tanah. Itulah perilakunya penguasa. Mungkin akal sempit, dalam perikemanusiaan.

Misal lagi. Ilmuwan Graham Bell. Penemu telepon. Juga sama sekali tak menyentuh kekuasaan. Bahkan tak meneruskan sekolah. Dia belajar, meneliti. Dibiayai seorang dermawan. Lama. Akhirnya Graham Bell bisa bicara jarak jauh melalui telepon kabel. Telepon kabel ditemukan. _Terus apa kaitan dengan "kampus kalah peringkat dengan kampus lain?. Ya...itu, kemampuan "merukunkan" sumber daya manusia (sdm) di kampus. Itu sangat perlu. Itu disebut juga kemampuan manajerial.

Akseptabilitas dalam demokrasi diperlukan. Tentu akseptabilitas asli. Asli diakui dan disenangi oleh orang banyak. Bukan"akseptabilitas" tipuan (intervensi). Bukan karena takut.

Perlu akseptabilitas asli. Perlu banyak orang yg mengakui. Perekat SDM menjadi baik. Agar saat memanaj (mengelola) menjadi mudah. Tidak macet (deadlock). 

Dalamdemokrasi, ada yang melakukan intervensi. Itu membahayakan akseptabilitas. Intervensi itu, bisa pakai duit, bisa juga instruksi. Semua instruksi dari atasan kepada bawahannya.

Kampus, tempatnya ilmuwan dan calon ilmuwan. Dosen adalah ilmuwan. Ilmuwan itu orang yang memiliki metode ilmiah menemukan ilmu. Bisa disebut ilmu baru. Lebih tepatnya meramu temuan dg metode ilmiah, menemukan ilmu. Jadi, ya masuk akal, metodis, dan empiris. _Bakul (penjual) pisang goreng molen saja punya ilmu - metode. Bisa mebuat/menemukan pisang goreng molen kok. Tidak semua orang bisa membuat pisang goreng molen. Tapi, dipelajari ilmunya, lama lama bisa. _Kalau dianggap ilmuwan tujuannya menemukan/medapatkan kekuasaan, mungkin disebut "politikus praktisiwan" hehehe.... Boleh boleh saja. Ada ada saja.

Menurut cerita dan pengalaman. lmuwan cederung diam dan kerja yang ditekuni - kebenaran di jagad planet bumi. Atau, planet lainnya.

Kalau tak pernah nemukan ilmu, banyak bicara, seolah tahu segalanya. Mungkin itu "bakul jamu". Bukan ilmuwan. Kalau politik praktis biasa disebut "agitasi". Kalau tak mau pakai kata agitasi, bisa pakai kata lain yakni "pencitraan". Hoaks. Ngarang.

Akseptabilitas yang memudahkan manajerial, penting. Membuat rukun - kebersamaan, penting juga. Kualitas SDM terdistribusi sesuai keahlian, sangat penting. Dan, kualitas penataan kampus dengan perangkatnya, juga penting. Kalau itu bisa berjalan harmonis. Tata kelola semua antar SDM dan perangkat, baik. Mahasiswa juga dapat belajar secara baik. Peringkatnya ikut naik. Semoga... 

Diatas langit ada langit. Salam sehat buat semua.

*) Guru Besar UNIPA Adi Buana Surabaya.

Managing Director Apenso.

Penasehat Swaranews. (GeSa)

Editor : redaksi