Bali Shanti

avatar swaranews.com
Prof. Dr. Wayan P Windia, Guru Besar Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar
Prof. Dr. Wayan P Windia, Guru Besar Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar

Swaranews.com - Pusat Pelayanan dan Pengembangan Adat/Kebudayaan Bali (Centre for Balinese Culture Services and Development) 

Universitas Udayana telah menetapkan kebudayaan sebagai pola ilmiah pokok yang mengisyaratkan betapa pentingnya wawasan kebudayaan dalam setiap kebijakan pengembangan keilmuan. Bertumpu pada kebudayaan sebagai pola ilmiah pokok, maka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan akan disertai pula dengan peningkatan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk berbudaya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semestinya menjadi indikasi bagi tingkat kemajuan kebudayaan manusia, bukan justru menjadi bumerang yang mengancam eksistensi kebudayaan manusia.

“Sejatinya, setiap masyarakat berhak atas kebudayaannya sendiri. Tak terkecuali masyarakat Bali dengan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu. Kebudayaan Bali merupakan salah satu dari enam ratus lebih kebudayaan kelompok etnik yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari segi luas wilayah geografis dan populasi pendukungnya, kebudayaan Bali hanyalah salah satu kebudayaan kelompok minoritas yang tumbuh dan berkembang di tengah hegemoni kebudayaan mayoritas di Indonesia. Namun demikian, keberadaan kebudayaan Bali ibarat sebutir mutiara yang kemilaunya mengagumkan dunia,” Demikian dituturkan Prof. Dr.Wayan P Windia Kepada Swaranews, di Bali beberapa waktu lalu.

Keunikan budaya Bali yang dibentengi oleh desa adat dan hukum adat Bali, telah melambungkan Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata yang cukup terkenal baik di kalangan wisatawan nusantara maupun mancanegara. Bagi Provinsi Bali, sektor pariwisata telah lama menjadi primadona penghasil devisa. Sumbangan sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah Bali dari tahun ke tahun terus meningkat mengungguli sektor-sektor lainnya. Namun demikian, ibarat peribahasa “ada gula ada semut”, gemerlapnya dunia kepariwisataan tidak saja menarik minat para wisatawan untuk datang berkunjung, tetapi juga merangsang kehadiran kaum pendatang untuk berebut rezeki di daerah ini. Di samping itu, fenomena krisis multi dimensi yang melanda negeri ini secara berkepanjangan kian mendorong penduduk dari berbagai daerah untuk bermigrasi ke Bali. Terlebih lagi memasuki era pasar bebas yang memberi kemudahan bagi orang asing untuk bekerja atau melakukan kegiatan usaha di Bali, dikhawatirkan akan menambah kompleksitas permasalahan di Bali.

Nah, apa saja masalah-masalah yang dimaksud terkait dengan hukum internasional, hukum nasional dan kesulitan dalam menciptakan keharmonisan antara kedua hukum tersebut dengan keunikan budaya Bali, desa adat dan hukum adat Bali? Berikut petikan wawancara Swaranews dengan Prof Wayan P Windia yang ternyata putra seniman besar Wayan pendet asal Desa Mas Ubud Bali. _Menurut pendapat anda bagaimana sebenarnya mengatasi masalah yang terkait dengan hukum internasional dan hukum nasional dalam keharmonisan dengan budaya Bali? _Mengatasi masalah yang muncul di bidang hukum internasional dan hukum nasional, dapat diselesaikan melalui aparat penegak hukum atau institusi pemerintah yang berwenang. Tetapi untuk menciptakan keharmonisan antara kedua bidang hukum tersebut dengan budaya Bali, desa adat dan hukum adat Bali, relatif lebih sulit dilakukan, karena memerlukan koordinasi yang baik antara lembaga penegak hukum, tokoh adat dan intelektual di bidang budaya Bali. “Atas dasar tersebut Universitas Udayana memandang perlu membentuk Pusat Pengembanganan dan Pelayanan Kebudayaan Bali (selanjutnya disebut “Bali Santhi”), untuk melakukan kajian-kajian ilmiah terhadap berbagai masalah yang menerpa Bali. Di samping itu, membantu masyarakat Bali atau pihak yang berkepentingan lainnya dalam mengantisipasi dan menanggulangi masalah sosial dan hukum yang terkait dengan budaya Bali, desa adat dan hukum adat Bali, dalam batas-batas yang sesuai dengan pola ilmiah pokok Universitas Udayana, serta tugas pokok dan fungsi universitas sebagai lembaga ilmiah,” tegas sang Profesor yang pernah menjadi dosen teladan dan peneliti senior terbaik di Unud itu.

Mengapa Bali Shanti dipandang perlu untuk didirikan, apa yang menjadi visi misinya? Sesuai visinya lembaga ini bertujuan memajukan manusia dan kebudayan Bali dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Sedangkan misinya adalah menggali dan mengembangkan kearifan lokal Bali yang mampu memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya bagi Bali dan NKRI. Selain itu, lembaga ini menyediakan layanan masyarakat terkait dengan kebudayaan Bali dan keberadaan Bali sebagai satu kesatuan sosial, budaya, ekonomi dan ekologi.

Apa yang menjadi tujuan sebenarnya? _Tujuannya adalah melakukan kajian, dokumentasi dan publikasi tentang kebudayaan Bali, tanah Bali, desa adat, dan hukum adat Bali. Kami menyediakan wadah pelayanan Konsultasi Budaya dan Hukum Adat Bali (LKBHA Bali), serta mewujudkan Taman Gumi Banten (TGB) sebagai pusat pembibitan tanaman dan satwa langka khas Bali (tanaman dan satwa upakara).

Seberapa besar manfaatnya?

Oh…..tentu saja cukup besar, diantaranya manfaat Akademis yakni meningkatkan peran Universitas Udayana dalam pengembangan berbagai kajian akademis, khususnya yang terkait dengan berbagai masalah sosial dan kebudayaan Bali. Selain itu ada manfaat Praktis bagi penyusun dan pelaksana kebijakan. Mengingat, adanya kajian akademis tentang masalah sosial budaya Bali, akan memudahkan bagi penyusun dan pelaksana kebijakan dalam memformulasikan konsep-konsep kebijakan pembangunan yang bermanfaat bagi kemajuan manusia dan kebudayan Bali.

“Bagi masyarakat, tersedianya buku-buku kajian tentang Bali, akan memudahkan masyarakat pendukung kebudayaan Bali dalam menyikapi dinamika zaman dalam memajukan kebudayaan Bali. Sementara itu, tersedianya Lembaga Konsultasi Budaya dan Hukum Adat Bali (LKBHA Bali), akan memudahkan bagi orang, institusi pemerintah dan institusi swasta, untuk menemukan tempat berkonsultasi mengenai berbagai masalah yang terkait dengan tanah Bali, budaya Bali, desa adat, dan hukum adat Bali,” ujar Profesor yang penuh humor.

Terwujudnya Taman Gumi Banten (TGB) sebagai pusat pembibitan tanaman dan satwa langka khas Bali (tanaman dan satwa upakara). akan memudahkan bagi masyarakat, khususnya umat Hindu, mendapatkan berbagai jenis tanaman, baik untuk kepentingan pelaksanaan upakara di tempat suci maupun untuk kelestarian lingkungan alam dan tanah Bali. _Apa yang melatarbelakangi terbentuknya Bali Shanti? “Bali Shanti” sebagai Pusat Pelayanan Konsultasi Hukum Adat dan Kebudayaan Bali, berada di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana. Diluncurkan oleh Rektor Unud, Prof. Dr. Made Bakta, pada tanggal 9 Januari 2008. Ide membentuk pusat pelayanan ini muncul, dilatarbelakangi oleh ketidakadaan tempat bertanya tentang hukum adat dan kebudayaan Bali. Kalau menghadapi masalah hukum, banyak ada tempat bertanya. Ada polisi, jaksa, hakim, notaris, advokat, dll. Kalau menghadapi masalah ekonomi, juga demikian adanya. Banyak ada tempat berkonsultasi, dan juga banyak lembaga keuangan yang mau membantu, kalau tersedia cukup jaminan.

Tetapi kalau menghadapi masalah hukum adat dan kebudayaan Bali, mau bertanya kemana? kenyataan inilah antara lain yang melatarbelakangi dibentuknya Bali Shanti, sebagai tempat bertanya permasalahan yang berhubungan dengan hukum adat dan kebudayaan Bali. Tentunya, semua dilakukan dalam batas-batas yang sesuai dengan pola ilmiah pokok Universitas Udayana, serta tugas pokok dan fungsi universitas sebagai lembaga ilmiah.

Sebagai seorang pakar hukum adat, apakah anda bekerja sendiri di Bali Shanti? _Sejak pertama Bali Shanti diluncurkan pada tanggal 9 Januari 2008 sampai sekarang, saya duduk sebagai Ketua, tetapi saya tidak bekerja sendiri tetapi didukung beberapa teman dari Fakultas Hukum Unud (Bagian Hukum dan Masyarakat), Fakultas Sastra Unud (Jurusan Antropologi) dan sering pula minta bantuan kepada Dr. I Gusti Ngurah Sudiana (Ketua PHDI Bali). _Berapa orang yang sudah memanfaatkan lembaga ini sebagai tempat konsultasi? _Sejak didirikan sampai sekarang, tercatat 132 orang yang datang ke Bali Shanti bertanya soal hukum adat dan kebudayaan Bali. Rinciannya, 7 orang asing, 14 orang luar Bali dan sisanya orang Bali sendiri. Selain memberikan pelayanan konsultasi, “Bali Shanti” juga melakukan kajian terhadap hukum adat Bali. Kajian yang pernah dilakukan kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, seperti Taman Gumi Banten: Ensiklopedi Tanaman Upakara, (2010) Hewan Upakara (2009), Sanksi Adat Kasepekang (2008), Ulah Pati (2008), dan yang segera akan terbit Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, dan Penuntun Penyuratan Awig-awig. “Bali Santhi” beralamat di Lantai Dasar Gedung Pascasarjana, Kampus Universitas Udayana, Jalan Sudirman, Denpasar. Telp 0361 7422 123. (Shan)

Editor : redaksi