Gibran, Asu, dan Pembusukan Politik

avatar swaranews.com
Gibran (kiri, baju batik) bersama Amar (Pimred Swaranews.com) di Solo /Foto : Bachan.
Gibran (kiri, baju batik) bersama Amar (Pimred Swaranews.com) di Solo /Foto : Bachan.

Swaranews.com - Sebagai putra mahkota Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo muncul sebagai the new rising star dalam politik Indonesia. Belum sampai sebulan menjadi Walikota Solo nama Gibran sudah dimunculkan bakal diusung menjadi Gubernur DKI pada pemilu serentak 2024. Bahkan rumor Gibran bakal diusung dalam kontestasi pilpres 2024 menggantikan bapaknya.

Terbaru, muncul the new rising star baru lagi. Dialah Susi Pudjiastuti, mantan menteri perikanan dan kelautan yang mendadak ngetop seperti Gibran. Kalau Gibran adalah fresh from the oven, Susi adalah barang baru tapi stok lama. Gibran pengusaha martabak lalu menjadi politisi, Susi pengusaha maskapai penerbangan yang menjadi politisi.

Baca Juga: Instruksi Presiden Laskar Santri

Bill Gates, Konspirasi Corona, Bioterorisme, dan Bencana EkosidaImlek Gak Nggoreng KopiPresiden Jancukers, Kritiklah Daku Kau Kutangkap Gegara cuitannya di twiter yang tajam dan banjir tanggapan,

Susi populer di kalangan netizen. Namanya pun dimunculkan bakal menjadi pendamping Anies Baswedan dalam pilpres 2024. Pasangan “Asu”, Anie-Susi pun viral di media sosial dan reaksi pro-kontra pun bermunculan.

Sebagian menganggap pasangan itu punya daya jual tinggi karena paduan tepat antara birokrat dan entrepreneur, antara Islam dan nasionalis, dan bisa menarik suara emak-emak militan. Anies bisa menjadi daya tarik pemilih rasional kelas menengah urban, dan Susi menjadi magnet pemilih tradisional kelas bawah.

Pengalaman ekstensif Susi di bisnis perikanan dan penerbangan memberinya akses luas kepada pemilih luar Jawa. Selama ini maskapai Susi Air milik Susi melayani rute-rute luar Jawa yang terpencil yang tidak tersentuh maskapai besar.

Kekuatan Anies dan Susi kelihatannya harus cepat diantisipasi oleh rezim. Bila perlu harus ada operasi amputasi dan malah bisa juga melalui aborsi, membunuh musuh sebelum lahir.

Serangan gencar para buzzer menjadi senjata andalan plus berbagai manuver politik untuk mencekal dan menjegal munculnya lawan. Bersamaan dengan itu jago-jago yang menjadi gacoan harus diproteksi, meskipun jago itu jago celipir kelas ayam sayur, tapi harus dipoles habis sampai lawan berteriak “Ampun, Bang Jago”.

Revisi undang-undang politik ditengarai sebagai salah satu upaya pencekalan dan pemolesan itu. Pemberangusan dan penangkapan oposisi politik membuat lawan-lawan tiarap, dan jalan untuk putra mahkota diharapkan akan makin lempang menuju singgasana. _Politik dinasti menjadi fenomena yang nyata. Sejak awal Jokowi dipotret sebagai pemimpin non-elite yang demokratis dan bersih. Tapi kemunculan anak dan menantunya sebagai walikota memantik banyak debat lama mengenai nepotisme dan politik dinasti.

Sejak zaman dulu kala manusia memang selalu merasa nyaman dengan keluarga sendiri, dengan kelompok sendiri, dan dengan sukunya sendiri. Manusia purba membentuk kelompok mula-mula bersama keluarga, lalu ada teman-temannya bergabung, dan terbentuklah suku-suku kecil.

Suku-suku kecil itu bersikap kekerabatan, kinship, lalu berkembang menjadi lebih besar berdasarkan kesukuan, tribalisme. Setelah muncul banyak suku kemudian timbul keinginan untuk berkumpul sesama suku itu untuk membentuk kesatuan yang lebih besar melalui kesepakatan bersama.

Kesepakatan bersama ini menjadi semacam kontrak sosial, social contract, yang mengatur hak dan kewajiban, mengatur siapa yang boleh menjadi pemimpin dan bagaimana tatacara memilihnya dan berapa lama seseorang boleh memimpin. Jika tidak ada kesepakatan sosial maka penyatuan akan dilakukan melalui perang dan penaklukan. Pemenang akan menjadi pemimpin dan menentukan aturan yang berlaku bagi anggotanya.

Kontrak sosial mengatur masyarakat berdasarkan kesepakatan bersama. Para pemuka masyarakat duduk bersama, berunding, dan melakukan tawar menawar , lalu mencapai kesepakatan. Tentu saja tidak semua aturan bisa dicapai melalui kesepakatan. Ada aturan-aturan yang tidak disetujui oleh semua anggota karena beda kepentingan. Kalau sudah demikian maka kesepakatan harus dicapai dengan cara lain, yaitu siapa di antara kelompok itu yang paling kuat dialah yang menang dan bisa menentukan aturan. Aturan ini bisa diterima oleh semuanya karena semua sadar bahwa mereka bisa hidup damai kalau sama-sama mematuhi aturan. 

Tentu tidak semua kelompok bisa mudah diatur seperti itu. Ada yang selalu bertengkar, berebut makanan sampai saling bunuh. Hidup tanpa aturan, siapa yang kuat dia menang. Manusia hidup dalam kondisi ”warre”, saling memangsa satu sama lainnya, sehingga hidup menjadi “short, brutish, nasty, poor, solitary” (pendek, brutal, keji, melarat, dan sepi). Manusia menjadi srigala satu dengan lainnya. Homo homini lupus, saling memangsa dan saling mengalahkan. _Dalam kondisi demikian masyarakat harus dipaksa dengan kekerasan supaya mau mematuhi aturan dan tidak saling memangsa satu dengan lainnya.

Untuk memaksa dan menjaga aturan diperlukan srigala yang paling kuat di antara mereka untuk menjadi pemimpin. Model kesepakatan dan model pemaksaan dengan kekerasan itu menjadi cikal bakal negara modern sekarang. Masyarakat berkumpul membuat kontrak sosial bersama untuk mendirikan negara demokrasi. Jean Jaques Rousseau merumuskannya dalam “Social Contract” yang mengatur masyarakat berdasar prinsip kebebasan individu masing-masing anggota masyarakat. Kebebasan perorangan itu harus dijaga dan dipertahankan. Tidak boleh ada yang mengganggu dan tidak boleh ada kekuatan yang menghalangi.

Pemimpin yang mengatur hidup masyarakat harus dipilih atas kemauan bebas para anggota masyarakat. 

Baca Juga: Terima Kunjungan Anggota Wantimpres, Ketua KPU Jatim Sampaikan Roadmap Jelang Pemilu 2024 di Jatim

Dalam tatanan masyarakat seperti ini pemimpin tidak boleh sewenang-wenang memimpin seperti raja yang berkuasa menentukan apa saja. Rakyatlah yang punya kuasa, yang disebut sebagai daulat rakyat, yang bisa menentukan nasibnya sendiri. Dari prinsip ini lahirlah Revolusi Prancis pada 1789 yang membongkar paksa tatanan feodal para raja dan menggantinya dengan tatanan baru sesuai keinginan rakyat.

Revolusi besar dengan korban besar. Raja dan kaum feodal menjadi korban guillotine yang mengerikan. Para pelaku revolusi sendiri juga menjadi korban, sampai akhirnya tercipta tatatan yang disebut sebagai demokrasi, yang membuat masyarakat bisa hidup dalam tatanan yang damai sesuai keinginan pribadi. Manusia terbebaskan, menjadi liberal, dan boleh menentukan nasibnya sendiri. Pada masa modern sekarang lahirlah negara demokrasi berdasarkan prinsip liberal-individual.

Jalan menuju tatanan yang damai itu bisa juga dicapai dengan cara lain seperti yang diusulkan Thomas Hobbes, yang meyakini bahwa manusia tidak boleh dibebaskan hidup seperti keinginannya sendiri, karena akibatnya mereka akan saling bunuh dan tatanan sosial tidak akan tercapai. Maka harus ada kekuatan besar yang memaksa anggota masyarakat supaya mematuhi aturan. Kekuatan pemaksa itu bisa menjalankan mekanisme “reward and punishment”, siapa patuh dia dapat hadiah, siapa melawan dia akan dihukum. _Inilah kekuatan Leviathan, monster laut berwajah ganda dan bertangan banyak, yang digambarkan oleh Hobbes sebagai kekuatan yang bisa memaksa dan memberi hadiah.

Dengan prinsip pemaksaan Leviathan ini negara dibentuk untuk menjaga aturan dan tatanan. Dari filosofi Hobess ini lahirlah negara-negara modern dengan label demokrasi, sama dengan label yang dipakai oleh Rousseau untuk membentuk tatanan negara, tapi seringkali ada hukum koersif yang memaksa dengan kekerasan.

Francis Fukuyama, pemikir Amerika keturunan Jepang, melihat evolusi umat manusia itu akan mencapai puncaknya ketika manusia bisa mendirikan negara berdasarkan prinsip demokrasi liberal berazaskan kebebasan individual ala Rousseau. Kondisi inilah yang oleh Fukuyama disebut sebagai puncak peradaban manusia yang akan menjadi akhir sejarah, the end of history. Sejarah berakhir dalam artian manusia sudah tidak perlu lagi mencari tatanan yang paling tepat untuk mengatur hidupnya, karena model demokrasi liberal adalah tatanan yang paling pas dan sesuai dengan fitrah manusia. _Fukuyama menulisnya dalam buku “The End of History and The Last Man” (1992).

Tentu saja banyak yang tidak setuju dengan Fukuyama karena terbukti sampai sekarang demokrasi liberal pun masih amburadul. Bahkan di Amerika pun tatanan politik masih kacau balau hingga bisa melahirkan seorang presiden demagog Donald Trump. Ia tidak mau menerima kekalahan dan menghasut pendukungnya untuk merebut paksa kekuasaan melalui kekerasan. Trump tidak berhasil. Ia diadili, dimakzulkan, tapi akhirnya dia bebas karena tidak cukup suara yang memutusnya bersalah.

Lantas apakah sejarah sudah berakhir seperti kata Fukuyama? Sepertinya tidak. Fukuyama sendiri mengatakan akhir sejarah itu dicapai melalui proses rumit dan panjang, dan Amerika belum sampai kesana. Ia mengoreksi dirinya sendiri, mungkin karena merasa bersalah dan berdosa. Ia menulis buku dua volume tebal, “The Origin of Political Order”, Cikal Bakal Tatanan Politik (2011) yang disusul dengan “Political Order and Political Decay”,

Tatanan Politik dan Pembusukan Politik (2014). Ia menelusuri sejarah lahirnya tatanan politik sejal zaman pra-sejarah sampai ke zaman Hobbes dan Rousseauhingga zaman modern sekarang.

Baca Juga: Menhan Prabowo Beri Santunan Kepada Korban Erupsi Gunung Marapi di Kabupaten Agam, Sumbar

Fukuyama menyimpulkan bahwa berbagai fenomena yang terjadi di negara demokrasi liberal modern sekarang ini menunjukkan tanda-tanda pembusukan politik, bukan hanya di Amerika tapi bisa terjadi di seluruh dunia. _

Trump adalah benggolan pemimpin populis yang menjadi penyebab politik membusuk. Ia punya pengikut yang sangat luas di Amerika, dan itu bisa menjadi indikasi bahwa politik Amerika terserang pembusukan. Perkembangan terbaru hari ini (14/2/2021) ketika sidang pemakzulan Senat tidak berhasil menghukum Trump menunjukkan indikasi pembusukan itu.

Trumpisme punya pengikut luas di mana-mana dengan gaya politik populis yang memperdaya demokrasi sampai busuk. Boris Johnson, di Inggris, Viktor Orban di Hungaria, Jair Bolsonaro di Brazil, Narendra Modi di India, Tayyep Erdogan di Turki, Rodrigo Duterte di Filipina, Vladimir Putin di Rusia. Di negara-negara itu demokrasi membusuk dan mungkin sedang menuju kematian seperti ditengarai oleh Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky dalam “How Democracies Die” (2018). _Indonesia mengalami perjalanan demokrasi yang pasang surut sejak kemerdekaan sampai reformasi dan pasca-reformasi sekarang ini. Ada era puncak dan ada era titik rendah. Rezim Jokowi sekarang ini bisa disebut sebagai titik nadir demokrasi. Indikator yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dengan nilai 6.3. Angka ini terendah bagi Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, dan menempatkan Indonesia pada kategori demokrasi cacat.

Perkembangan mutakhir politik Indonesia tidak membawa gambar yang lebih cerah dan malah makin buram. Revisi UU Pemilu yang dipaksakan adalah salah satu indikator suram itu. Kemunculan pemimpin karbitan ala Gibran yang sarat nepotisme membuat demokrasi makin cacat. Intimidasi dan penjegalan terhadap politisi yang punya gagasan segar seperti duet Asu Anie-Susi membuat demokrasi sekarat.

Rakyat Amerika berani melakukan amputasi politik dengan menyingkirkan Trump melalui perjuangan keras dan korban yang besar. _Amputasi politik menjadi jalan paling mangkus untuk menghindari pembusukan. Indonesia harus berani melakukan amputasi, kalau tidak ingin demokrasi sekarat lalu mati.

Semua orang mungkin tahu. Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo, walikota Solo yang terpilih setelah menang dalam pemilihan walikota melawan pasangan boneka dakocan. Belum genap sebulan menjadi walikota Gibran sudah disebut-sebut bakal maju di pilgub DKI. Malah sudah ada juga yang menyebutnya bakal maju di pilpres 2024 menggantikan bapaknya.

Perhelatan pesta demokrasi dalam kontestasi 2024 bakal menjadi persaingan generasi kedua. Selain Gibran akan ada Puan.

Editor : redaksi