Swaranews.com – Dukuh Banjar Melati, RT 3 RW 3 Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri ternyata memiliki segudang budaya asli Kota Surabaya yang hingga saat ini masih terjaga dengan baik. Salah satunya ada Galeri Pusaka Papat Sekawan.
Uniknya di tengah masyarakat yang masih terus menjaga budaya luhur Kota Surabaya yang kental dengan budaya artistik jawa kuno ini, ada John Thamrun yang sehari-hari berkutat di gedung DPRD Kota Surabaya.
"Budaya asli Surabaya saat ini yang sangat kental rasanya itu ada di wilayah Kecamatan Lakarsantri. Saya melihat ini yang harus kita dukung pelestarianhya," ujarnya, kemarin malam.
Anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya ini menilai bahwa keberadaan Galeri Pusaka Papat Sekawan ini, merupakan akar budaya asli masyarakat Kota Surabaya.
"Di Dukuh Banjar Melati, Jeruk, Lakarsantri ini masih banyak pesarean, makam para leluhur dan punden. Banyak peninggaan kuno yang masih terjaga dan sebetulnya ,masih banyak yang belum terangkat," papar John Thamrun.
Belum lagi bukan tidak mungkin, banyak peninggalan-peninggalan zaman kuno yang belum ditemukan sampai detik ini,” ujar John Thamrun di Surabaya, Rabu malam (21/09/22).
Untuk itu dirinya bersama masyarakat di lolkasi tersebut terus mempertahankan budaya asli Suroboyo, sekaligus mencari apakah masih ada peninggalan-peninggalan zaman kuno yang masih belum ditemukan.
“Ini masih perlu kita gali lagi, dan ini bukan hanya kepentingan masyarakat Dukuh Banjar Melati saja, melainkan kepentingan kita semua. Dan bukan tidak mungkin, original budaya Surabaya sebenarnya ada di Banjar Melati Kelurahan Jeruk ini,” tegas anggota DPRD Kota Surabaya dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Sementara itu, Choiri selaku pemilik Galeri Pusaka Papat Sekawan mengatakan bahwa pihaknya melakukan perawatan pusaka atau biasa disebut tosan aji, seperti keris, tombak dan lain sebagainya.
"Tempat ini untuk menjamas atau mencuci.
Seperti keris yang sudah kotor. Selain itu kita diskusi sinau budaya," tuturnya.
Choiri menyatakan bahwa untuk disiplin caranya Mataram, penjamasan memang dilakukan secara serrentak di bulan suro setiap tahunnya. Hal itu merupakan peninggalan seremonial masa kerajaan Mataram.
"Namun, penjamasan pusaka jika dilakukan diluar bulan Suro juga tidak apa-apa. Tidak ada aturan yang membatasi. Boleh dilakukan selain bulan Suro. Ketika pusaka itu sudah kotor, berkarat misalnya. Tidak harus menunggu sampai bulan Suro untuk membersihkan," paparnya.
Choiri menerangkan bahwa untuk jamas pusaka,selain bulan Suro, biasanya dilakukan pada saat "mapag poso" sebelum masuk bulan Ramadhan (puasa). Sebagai penghormatan terhadap datangnya bulan puasa.
"Dari awal hingga saat ini kami masih fokus pada penja,masan. Jadi untuk koleksi pusaka yang kami miliki masih sedikit. Disamping itu, hampir setiap malam/kami berkumpul di galeri ini untuk diskusi budaya dan perwujudannya," tutup Choiri. (mar)
Editor : redaksi