Baca Juga: Bahas Pembangunan Berkelanjutan, UPN Veteran Jatim Hadirkan Profesor dari Jepang hingga Malaysia
Swaranews.com - Gelar sarjana di era digital saat ini tak bisa dijadikan jaminan kesuksesan. Data World Economic Forum menunjukkan bahwa di tahun 2025 saja, akan ada 85 juta lapangan kerja yang terdisrupsi dan berpotensi digantikan oleh mesin. Perusahaan teknologi besar juga sudah banyak yang saat ini tidak mensyaratkan ijazah sebagai syarat seleksi karyawan.
Menurut Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara
Widya Priyahita Pudjibudojo, sarjana harus terus meningkatkan kemampuan diri jika mau bertahan di tengah era digital.
"Saat ini kita menghadapi triple disruption, bahkan disrupsi empat lapis. Yakni disrupsi revolusi dan bisnis, disrupsi pandemi, disrupsi anak muda. dan disrupsi perubahan alam. Namun, ada job lost (pekerjaan yang hilang), akan ada juga job gain, pekerjaan yang dulu tidak ada namun sekarang muncul dan berkembang pesat, hal-hal yang terkait digital. Para sarjana perlu segera meningkatkan kemampuan diri," kata Widya yang kini juga menjabat sebagai Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta ini, kemarin.
Untuk meningkatkan peluang sukses di masa depan, setidaknya ada empat tips survive (bertahan) dan anti menganggur yang disampaikan oleh Widya bagi generasi muda. Pertama, pahami peluang yang ada.
Sebagai informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia telah merilis informasi bahwa setidaknya ada 9 juta talenta digital yang dibutuhkan di Indonesia. Namun berdasarkan prediksi yang bisa dipenuhi saat ini baru sekitar 2,5 juta talenta saja. Sehingga masih ada kesempatan bagi generasi muda untuk mengasah bakatnya di bidang digital, karena lapangan kerja tersedia luas.
Peluang lainnya di berbagai bidang terkait digital juga tersedia. Misalnya seseorang yang memiliki jiwa seni yang baik, di masa lalu akan berkarya sebagai seorang pelukis saja. Tapi sekarang peluang kerja baru bagi anak seni terbuka lebar, sebagai desainer grafis maupun pembuat konten. Widya berharap para sarjana jeli dalam memahami peluang, jangan hanya berpikir linear dan menunggu.
"Bahkan dengan LinkedIn dan berbagai aplikasi untuk memamerkan portofolio, asalkan sarjana itu punya karya, bisa membuat produk yang dijual ke seluruh dunia. Cukup internet, dan modal Bahasa Inggris, bisa mendapatkan klien untuk desain dan content maker (pembuat konten) dari luar negeri dengan gaji dollar," ungkap Widya.
"Jangan hanya belajar linier. Anak politik bisa belajar digital, anak kedokteran bisa belajar digital. Belajar apapun pasti ada manfaatnya," tandasnya.
Ia menambahkan disrupsi yang terjadi saat ini membawa fenomena menarik karena ada job lost dan job gain. Dimana ada beberapa pekerjaan yang dulu eksis namun sekarang menghilang dan sudah tidak dibutuhkan lagi. Tapi kemudian ada pekerjaan baru muncul dan berkembang pesat.
Kemudian, tips berikutnya yaitu jangan ragu belajar di luar bidangnya. Menurut Widya saat ini adalah era hybrid (campuran dengan teknologi), dan bukan lagi linear (ilmu murni). Tak terkecuali dalam pola pikir dan pembelajaran. Semua bidang ilmu bisa dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi.
Widya mencontohkan dunia pendidikan, yang jika dilakukan secara linear maka hanya akan berfokus pada pembelajaran di ruang kelas. Saat ini dengan perkembangan teknologi, dunia pendidikan bisa digabungkan dengan aplikasi di handphone, dan memiliki peluang bisnis yang luar biasa.
"Mahasiswa masih kuliah, bisa membuat aplikasi pembelajaran bahkan menjadi guru les secara online. Dokter bisa konsultasi melalui online. Ini tidak bisa terjadi kalau sarjana pendidikan dan sarjana kedokteran tidak belajar teknologi," ungkap Widya.
Untuk mulai percaya diri dalam belajar di luar bidang, para sarjana harus percaya bahwa belajar apapun pasti ada manfaatnya. Karena hasil dari belajar bukan sekedar selembar ijazah.
"Tapi juga peluang untuk mix and match, mempelajari yang relevan dan dibutuhkan masyarakat, menghubungkan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, sehingga ilmu yang sarjana miliki akan sesuai dan ada lapangan kerjanya," lanjut Widya.
Selanjutnya, belajar caranya belajar dan meninggalkan sebagian yang sudah dipelajari. Menurutnya, ilmu pengetahuan pasti akan berubah, namun sesuatu yang dipelajari di masa lalu belum tentu relevan di masa depan. Jadi para sarjana perlu memiliki skill caranya belajar, dan meninggalkan sebagian yang sudah dipelajari untuk digantikan dengan hal yang baru.
Karena bagi Widya, akhirnya sekolah itu adalah tempat belajar untuk bagaimana belajar, sehingga bisa beradaptasi dalam situasi apapun, terlebih perubahan dunia yang demikian cepat dan disruptif. Selain kemampuan untuk belajar, yang dibutuhkan saat ini juga adalah menyaring hal-hal usang yang sudah dipelajari. Sehingga kemampuan untuk menerima hal-hal baru bisa lebih cepat.
"Saya tidak melihat sekolah untuk belajar sesuatu karena sesuatu itu mudah rusak. Misal manajemen, teori yang kita pelajari hari ini pada tiga tahun lagi mungkin usang. Sehingga kita harus memposisikan sebagai gelas. Gelas ketika penuh diisi air terus menerus, air akan tumpah. Nah kita juga harus bisa membuang apa yang kita pelajari yang telah usang, agar hal baru bisa masuk. Karena dunia terus berubah jangan pakai cara pandang lama untuk melihat hal baru," katanya.
Berikutnya, cepat beradaptasi dan pasang target. Kemampuan adaptasi dan memasang target, menjadi skill yang terakhir namun menurut Widya juga tak kalah penting. Gelar sarjana pastinya menjadi pengalaman baru bagi anak muda menghadapi kerasnya dunia kerja atau bermasyarakat, setelah belasan tahun di lingkungan sekolah.
Kemampuan cepat beradaptasi bisa dipelajari sejak kuliah. Bagi mahasiswa yang berkuliah di era pandemi, sudah pernah merasakan kuliah berubah drastis secara online selama dua tahun, sebelum akhirnya menjadi offline lagi akhir-akhir ini. Mahasiswa juga sudah pernah merasakan merantau ke luar kota bahkan luar pulau, dan semasa kuliah mengenal teman baru baik di kampus, organisasi internal, maupun organisasi eksternal.
Setelah mengenal lingkungan lebih luas, sarjana maupun calon sarjana diharapkan Widya dapat menentukan target yang jelas. Misalnya ingin menjadi pengusaha, usia 22 sebagai sarjana muda apa yang perlu dilakukan. Lalu bagaimana target skala usahanya, jumlah pegawai, hingga omset pada 10 tahun ke depan. Dengan adanya target, maka adaptasi bisa dilakukan secara terarah.
"Oleh karena itu semasa jadi mahasiswa, belum sarjana, tidak cukup hanya belajar dikelas, belajar bisa dimana pun kita bisa belajar di masyarakat, pesantren, industri, organisasi, semakin banyak ruang belajar yg kita manfaatkan semakin baik. Jadi skill akademik penting, kapasitas akademik penting, tapi juga perlu dilengkapi dengan skill yg lain seperti kepemimpinan, kewirausahaan, sosialisasi, berorganisasi, dan lain-lain. Inilah yang nanti sebagai sarjana, akan membantu untuk beradaptasi dan sukses," pungkas Widya yang saat ini juga berstatus sebagai mahasiswa baru pada jenjang doktoral di Paris School of Business Prancis. (res)
Editor : redaksi