Swaranews.com - Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN), Ahmad Doli Kurnia Tanjung, menargetkan RUU tersebut disahkan menjadi UU pada awal 2022. Doli menegaskan, pemerinrah dan mayoritas fraksi di DPR sepakat dibutuhkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).
"Kesepakatan pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR itu menguatkan dugaan, pemindahan Ibu Kota Negara untuk mengakomodir kepentingan elit daripada rakyat. Elit yang dimaksud disini adalah eksekutif dan dan partai pendukung pemerintah," ujar M. Jamiluddin Ritonga Pengamat Komunikasi Politik Univeesitas Esa Unggul Jakarta, Sabtu (11/12/2021).
Baca juga: Kusriyanto Pimpin DPC Partai Gerindra Kabupaten Pamekasan
Menurutnya, mayoritas fraksi di DPR yang mendukung pemindahan Ibu Kota Negara itu juga berasal dari partai pendukung pemerintah. Fraksi di DPR ini akan dijadikan stempel untuk memuluskan keinginan para elit tersebut dengan target selesai awal 2022.
"Selain itu, RUU IKN inisiatif dari eksekutif. Hal ini mengindikasikan pemindahan IKN memang lebih dominan keinginan pemimpin (elit) daripada rakyat," papar Jamiluddin.
Penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini menjelaakan bahwa pemindahan IKN semakin elitis karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menetapkan lokasi IKN baru. Jokowi setelah meninjau Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, akhirnya memutuskan lokasi Ibu Kota Negara baru seluas 180 ribu hektar di perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
"Dilain pihak, rakyat hingga sekarang belum pernah ditanyakan apakah setuju Ibu Kota Negara dipindahkan. Rakyat juga tidak pernah ditanya di mana lokasi IKN yang baru," terang Jamiludin.
Pengamat Komunikasi Politik yang akrab disapa Jamil ini nenyebutkan, rakyat tiba-tiba dikejutkan, lokasi Ibu Kota Negara yang baru sudah ditetapkan. Cara penetapan lokasi IKN ini layaknya seperti di zaman kerajaan saja.
Baca juga: M. Saifuddin Hadiri Jalan Sehat Bulak Rukem Gugah Peran Aktif Masyarakat Kawal Kebijakan Publik
"Saat raja ingin memindahkan ibu kota kerajaannya, sang raja pun meninjau beberapa lokasi. Kalau sang raja merasa cocok, ia pun mengeluarkan titah dengan menetapkan lokasi ibu kota kerajaannya yang baru. Raja merasa itu haknya, dan rakyat harus ikut titah sang raja," urainya.
Jamil menegaskan bahwa Indonesia sekarang menganut demokrasi. Presiden tidak bisa seperti raja mengeluarkan titah pemindahan Ibu Kota Negara. UUD 1945 yang diamandemen juga tidak memberi kewenangan kepada presiden untuk menetapkan Ibu Kota Negara baru, termasuk lokasinya.
"Karena itu, kalau negeri ini masih merasa menganut demokrasi, pemindahan Ibu Kota Negara dan penetapan lokasinya seharusnya mendapat persetujuan dahulu dari rakyat. Rakyat harus ditanya melalui referendum tentang dua hal," beber Jamil.
Dia menyebutkan, Pertama, apakah rakyat setuju Ibu Kota Negara dipindahkan ?
Baca juga: Abdul Ghoni Mukhlas Ni'am: Jangan Tebang Pohon Sembarangan Ada Sanksinya
Dua, kalau setuju, di mana lokasi Ibu Kota Negara yang diinginkan ?
""Kalau rakyat setuju, barulah disusun RUU Ibu Kota Negara untuk dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR. Bukan sebaliknya, elit ingin Ibu Kota Negara dipindahkan dengan menetapkan dahulu lokasinya, baru dibuat RUU untuk disahkan oleh DPR RI," ungkap Jamil.
M. Jamiluddin Ritonga mempertanyakan, Masalahnya, apakah negeri ini, terutama elit negeri, masih komit untuk berdemokrasi ? (mar)
Editor : redaksi