Swaranews.com - Banyaknya persoalan dan konflik agraria cukup membuat geram Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Untuk itu, Dirinya menginstruksikan agar seluruh jajaran aparat hukum tidak ragu mengusut para mafia tanah.
Namun di lapangan, instruksi orang nomor satu di tanah air ini seolah tidak berpengaruh banyak. Sebabab kenyataannya, masih saja ada aksi serobot tanah tanpa dasar dan oleh aparat hukum didukung melalui pengesahan.
Salah satunya yang dialami oleh H. Rahman pemilik tanah seluas 6 hektar yang berlokasi tepat di depan terminal Oso Wilangon, Benowo - Surabaya. Tanpa ada konflik apapun, tiba-tiba tanah yang dimiliki H. Rahman sejak 2003 ini dilakukan penetapan eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya seiring permohonan sengketa sisa tanah antara Pemkot Surabaya dengan keluarga (Alm) H. Djabar.
Namun saat dilihat di TKP (Tempat Kejadian Perkara, red),terdapat banyak kekeliruan dan kejanggalan yang sangat fatal. Hal itu disampaikan oleh Peter Sosilo, kuasa hukum H. Rahman, yang menduga ada kesalahan eksekusi.
"Terlihat dengan gamblang bahwa posisi koordinat tanah yang ditentukan tersebut berbeda dengan pengumuman di plakat yang terpasang di lokasi. Kalau menurut penetapan pengadilan, di sebelah barat adalah tanah tambak. Sedangkan di lokasi, yang terlihat adalah jalan raya Tambak Oso Wilangon," jelas Peter, di lokasi, Sabtu 12 Februari 2022.
Batas disebelah timur, tertulis di hasil putusan eksekusi adalah jalan Oso Wilangon, sedang diplakat tercantum disebelah barat. Batas sebelah selatan memang benar, yakni tanah milik Pemkot Surabaya.
Namun ada kejanggalan batas sebelah utara, disebutkan tanah milik Edi Suratman. Padahal sesuai amatan dari Google, batas sebelah utara adalah milik PT Surya Oso Wilangon.
"Bahkan, ketika kita cek di kelurahan, nama Edi Suratman tidak ada diriwayat tanah," terang Peter.
Dugaannya, ada kesalahan obyek eksekusi yang merugikan kliennya. Pihak PN tidak berkenan melakukan croscek kembali dan ajurannya adalah mengajukan gugatan ke jalur hukum.
"Ini yang harus diungkap bahwa ada ketidakprofesionalan penegak keadilan. Jadi kami akan menuntut hak kami secara hukum kepada pemerintah, mengapa tiba-tiba tanah yang sudah bersertifikat hampir 20 tahun dikuasai oleh orang yang tidak jelas," tegas Peter.
Kejanggalan yang lainnya adalah, Katanya? pengadilan Negri Surabaya memohon kepada aparat TNI untuk menjaga aset tanah tersebut. Dan memang saat ini lokasi dijaga oleh aparat berseragam Garnisun.
"Saya meyakini, pengadilan negri tidak akan keliru dalam memohon. Memang saat rakor eksekusi, aparat TNI diperbantukan untuk pengamanan pada proses eksekusi, bukan pada pasca eksekusi. Itu harus dibedakan," jelas Peter lagi.
Pertanyaannya, mengapa bukan Polisi yang menjaga ? dan apa hubungannya TNI menjaga tanah sengketa ? Di Undang-undang dijelaskan memang TNI akan memback up Polisi apabila ada terjadi hal yang membahayakan.
"Saya juga kaget ketika melihat ada aparat TNI berseragam Garnisun yang menjaga. Disini, kewenangan dalam melaksanakan hukum harus jelas, ada aturannya. Jangan sampai masyarakat sipil dibenturkan dengan TNI, kasihan dua-duanya," ungkap Peter menyayangkan.
Sesuai pernyataan H. Rahman sendiri, tanah tambak seluas 6,3 Ha yang dibelinya sejak 2003 dan sudah bersertifikat ini, digadang-gadang akan dijadikan depo Peti kemas yang pastinya akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun tak ada angin, tak ada hujan, setelah dilakukan pengurukan pada 2018 lalu, tahu-tahu di tahun 2021 ditetapkan menjadi milik orang lain yang kurang jelas. Dijelaskan, persoalan ini berawal dari sengketa harta waris keluarga (Alm) H. Djabar dengan Pemkot Surabaya. Pemohonnya adalah Kaman Cs. Sebenarnya Pemkot sudah mempunyai dasar hukum, bagaimana Pemkot bisa mengusai tanah tersebut.
"Sejarahnya ada semua, di kelurahan dan BPN," kata Peter.
Bukti juga disampaikan oleh Sudargo pemilik sebagian tanah tersebut. Maka dari itu gugatan Kasman CS ditolak pengadilan. Kemudian ada gugatan kembali terkait tanah sisa 6 hektar melalui permohonan Novum dan jadilah PK (Peninjauan kembali, red). Akhirnya tanpa ada penelitian keputusan terdahulu, maka diputuskan seakan-akan bahwa sejarah tanah yang bersengketa merupakan milik (Alm) H. Djabar.
"Ini benang kusut yang harus diurai, karena dalam penetapan tanah sisa 6 hektar tersebut tidak melibatkan kelurahan dan BPN," kata Peter.
Nah disini, H. Rahman memang mengaku tidak tahu menahu dan tidak ikut bersengketa, karena sesuai peta bidang dan sejarah pertanahan, bukan di lokasi miliknya.
"Kami sebagai pemilik tanah tidak pernah diberi tahu, baik secara tertulis maupun lisan. Kami juga bingung, meski sudah ditunjukkan sertifikat yang asli, pengadilan tidak percaya dan disuruh menggugat," kata H. Rahman.
"Ngambil tanahnya orang seperti merampok saja, langsung dipagar, makanya saya minta keadilan," tegasnya.
"Kami juga tidak tahu, dimana letak tanah yang disengketakan oleh Kaman Cs dengan pihak Pemkot, tapi hasil dari penetapan pengadilan tiba-tiba tanah kami yang dieksekusi," ucap Peter mewakili kliennya.
"Ini perbuatan pidana, karena sengaja ngepas-ngepaskan lokasi. Pengadilan bilang A, tapi dilapangan dilakukan B, ini sudah kejahatan namanya," tambahnya.
"Disitu juga ada keterangan atau data palsu yang diajukan oknum yang memasang plakat di lokasi, itu nanti kita permasalahkan pidananya," tegas Peter lagi.
Sebagai kuasa hukum, Peter Sosilo berjanji akan mengupayakan keadilan untuk kliennya. Selain itu, Peter juga akan bersurat ke beberapa Instansi, termasuk kepada Presiden Jokowi terkait ketidak adilan ini. Hingga berita ini ditayangkan, media ini belum berhasil mengkonfirmasi pihak - pihak terkait yang disebutkan oleh beberapa nara sumber di atas. (mar)
Editor : redaksi