Swaranews.com - Sekarang ini Covid-19 masih terus berkeliaran dan tumbuh dimanapun, sementara pembangunan berkelanjutan di NTT dan Salatiga masih terus berlanjut.
Terlepas dari pandemi Covid-19, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia (+ 267 juta jiwa) setelah China, India dan Amerika. Mengawal 17 SDGs bukanlah perkara yang mudah apalagi di tengah pandemi Covid-19. Butuh kerjasama dari semua pihak baik pemerintah, sektor swasta dan dukungan masyarakat sipil.
Dengan mengikuti protokol Kesehatan yang ketat sebagai norma baru baik secara individu maupun kelembagaan berarti kita sudah menjadi aktor pembangunan berkelanjutan untuk generasi masa depan Indonesia. Karena itulah protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 harus dijadikan dengan prinsip New Norm (Norma Baru) dan bukan sebagai New Normal (Normal Baru).
Menurut data dari Jurnal Magistrorum Et Scholarium dalam kacamata pembangunan berkelanjutan, ada empat aspek yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan begitu saja yaitu aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan dan ekologi, ke empat aspek ini merupakan satu ikatan mata rantai (Todaro & Smith, 2015). _Karena itulah ketika Covid-19 menjadi perhatian dunia, saya berada dalam posisi bahwa kesehatan, ekonomi, pendidikan dan ekologi harus berjalan bersama-sama dan tidak bisa dipertentangkan; semua memiliki prioritas yang sama. Covid-19 memang membuat semua hal harus berubah.
Adaptasi tak akan mudah dan menuntut banyak pengorbanan. Namun saya tidak setuju dengan pemberitaan sejumlah media di Indonesia yang berlebihan seolah-olah esok kiamat karena Covid19. Indikatornya, angka yang sembuh lebih banyak dari angka yang meninggal dunia karena Covid-19 (periksa: https://www.worldometers.info). Artinya bahwa meskipun belum ada vaksin yang definitif membunuh Covid-19 namun penderita Covid-19 bisa disembuhkan.
Menurut World Health Organization (WHO) jumlah penderita Tuberkulosis (TBC) di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India dengan tingkat kematian per tahun 67.000 orang, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pun tertinggi di dunia (Kompas, 9 Juni 2020).
Misalnya, di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika pejabat pemerintahan sibuk dengan urusan Covid-19 disertai birokrasi yang panjang justru ada yang nyaris dilupakan wabah endemi DBD telah merenggut 322 nyawa warga NTT dan telah menjangkiti 4.304 orang, NTT merupakan provinsi tertinggi dalam kasus DBD di Indonesia. Ini adalah contoh kasus bahwa tidak hanya Covid-19, ada juga wabah/endemi lain yang perlu mendapat perhatian dengan tingkat keseriusan yang sama. Saat kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan, pemerintah mulai mempersiapkan pelaksanaan menuju New Normal (Normal Baru) pada 25 Kabupaten/Kota. Bagi saya yang lebih tepat adalah Norma Baru (New Norm).
Mengapa? Situasi yang kita hadapi saat ini sesungguhnya adalah situasi yang tidak normal (out normal) lalu kemudian dipaksakan menjadi normal dan ditambah kata “baru” (new). New normal adalah konsep yang salah kaprah karena tidak sesuai dengan konteks (realitas) saat ini (Mas’udi & Winanti, 2020).
Protokol Kesehatan Covid-19 seharusnya dijadikan sebagai norma baru (tatanan baru) karena bagaimana pun hidup harus terus berlanjut di tengah pandemi Covid-19.
Kesadaran lain yang tak boleh dilupakan adalah kelompok balita, usia lanjut dan pengidap penyakit kronis harus mendapat perhatian khusus sebagai kelompok yang rentan terinfeksi Covid-19.
Para ahli kesehatan masyarakat menyarankan untuk menekan laju penularan Covid-19 adalah dengan tinggal di rumah (bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah); implikasinya aktivitas sosial-ekonomi yang membutuhkan kehadiran fisik tak bisa berjalan (termasuk dunia pendidikan), orang kehilangan pendapatan. Karena itu negara harus memberi perlindungan sosial dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Program Keluarga Harapan (PKH) dan juga dukungan untuk dunia usaha yang terdampak. Intinya orang harus diberi kompensasi untuk tetap tinggal di rumah, karena itu kebijakan ekonomi untuk perlindungan social dan bantuan bagi dunia usaha menjadi hal yang tak terpisahkan dari upaya penanganan pandemi.
Namun, BLT, PKH dan Bantuan Sosial lainnya tidak bisa berlangsung lama/terus-menerus karena anggaran negara yang terbatas. Pilihannya adalah melakukan aktivitas sosial ekonomi dengan protokol kesehatan yang ketat terutama pada daerah yang kurva epidemologinya mengalami penurunan/melewati masa puncak sesuai analisis para epidemolog.
Hukum penawaran-permintaan (supply and demand) dalam ekonomi tetap relevan untuk menentukan keputusan produksi dengan melihat tingkat konsumsi, jika ingin menggerakan ekonomi dalam jangka pendek adalah, tingkatkanlah konsumsi! Sebagai contoh, Pasar Desa Nita di Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tenggara Timur (lihat Gambar 2), atau aktivitas Pasar Pagi di Kota Salatiga di Provinsi Jawa Tengah (lihat Gambar 3) adalah contoh penerapan norma baru (adaptasi tatanan baru) untuk menggerakan ekonomi jangka pendek (setidak-tidaknya untuk memenuhi konsumsi setiap rumah tangga) dan dapat dijadikan model (contoh) bagi pasar-pasar tradisional lainnya di Indonesia agar tetap beraktivitas di tengah pandemi Covid-19 dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat.
Sayangnya aktivitas Pasar Pagi di Kota Salatiga yang sempat viral di media sosial pada awal pandemi Covid-19 di bulan Maret-April 2020 tidak bertahan lama, protokol kesehatan mulai diabaikan, tidak semua pembeli dan penjual menggunakan masker dan menjaga jarak, fasilitas untuk cuci tangan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah dijangkau, bahkan tidak ada pengawasan penerapan protocol kesehatan di pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Salatiga.
Selain aktivitas sosial ekonomi, sektor pendidikan juga terkena dampak dari pandemi Covid-19 yang luar biasa, keputusan untuk belajar dari rumah bukan perkara yang mudah! Belajar melalui metode online menuntut kepekaan orang tua, dukungan perangkat dan jaringan internet. Lalu bagaimana metode online diterapkan untuk kaum disabilitas? Dan juga metode belajar untuk wilayah yang belum ada jangkauan listrik dan sinyal internet, sekali lagi belajar dari rumah membutuhkan strategi berlapis dan dukungan dari semua pihak (state, private sector dan civil society).
Jika belajar di sekolah dan di kampus diaktifkan tentu harus dengan protokol kesehatan yang sangat ketat (dan memperhatikan perkembangan kurva epidemologi). Covid-19 memberi “pelajaran” berharga agar dunia pendidikan Indonesia bisa berbenah terutama mempersiapkan perangkat dan metode untuk belajar online. Karena itu, tidak adalahnya kita belajar dari Universitas Terbuka yang sudah sejak lama mengelola Program Belajar Jarak Jauh.
Hasil pengabdian masyarakat ini adalah tercapainya pemahaman para peserta bahwa betapa pentingnya penerapan protokol kesehatan Covid-19 secara ketat selama vaksin yang definitif untuk membunuh Covid-19 belum ditemukan. Karena itu, aktivitas sosial kemanusiaan tidak bisa berlangsung terus-menerus dari dalam rumah mengingat anggaran negara juga terbatas, jika harus terus-menerus membantu masyarakat melalui dana bantuan sosial dan sejenisnya.
Selain itu, kesadaran lain yang disampaikan para peserta kegiatan adalah diperlukan aksi bersama (collective action) tanpa melihat status sosial dan status ekonomi untuk membantu pemerintah dalam mengkampanyekan protokol kesehatan 3M (menggunakan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir) pada berbagai lapisan masyarakat dengan beragam metode baik konvensional maupun modern, dan aktivitas di Pasar Desa Nita dan Pasar Pagi Kota Salatiga dapat dijadikan rujukan.
Penulis : Devi Anggraeni Fitria Putri (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Program Studi Administrasi Publik Fakultas Bisnis, Hukum, dan Ilmu Sosial)
Editor : redaksi